Ketika Sawit Jadi Bumbu Masakan
Siapa yang tidak kenal rendang? Masakan khas Minang --Sumatera Barat (Sumbar)-- ini dikenal kaya rasa. Tapi bagi Anda yang menghindari santan, penggunaan krimer nabati --non dairy creamer-- bisa menjadi pilihan.
SEPINTAS, 17 komposisi bumbu rendang ini terlihat biasa saja; tepung santan, garam, cabai merah, cabai rawit, gula pasir, bawang merah, daun jeruk, lengkuas, ketumbar, bawang putih, jinten, serai, pala, daun kunyit, jahe, daun salam, dan kunyit.
Tapi ada satu bahan yang berbeda dari biasanya dalam komposisi bumbu rendang ini; krimer minyak sawit. Ya, bumbu rendang bernama “KrimLiz” ini merupakan produksi PT Sukaraja Pangan Utama –Kota Bogor. Dengan bumbu ini, rendang yang biasa dibuat 4 sampai 6 jam, menjadi 60 menit alias 1 jam saja.
Cara memasaknya, didihkan air sebanyak 2 liter lebih dulu. Lalu tuang bumbu ini sembari diaduk rata. Langkah selanjutnya, masukan daging sapi sebanyak 1 kilogram. Masak dengan api sedang selama 1 jam hingga daging empuk dan kuah mengental. Rendang pun siap disajikan dan dicicipi.
Kehadiran bumbu rendang “KrimLiz” ini merupakan satu dari empat produk turunan sawit yang ditampilkan di Workshop Hilirisasi Minyak Sawit Menjadi Oleopangan, Oleokimia dan Biofuell: Peluang dan Tantangan, di Ball Room Swiss-Belhotel Borneo, Kota Samarinda, belum lama ini. Produk lain yang dihadirkan adalah handsoap berbahan surfaktan sawit, serta minuman bajigur dan bumbu soto berbahan krimmer sawit.
BERKAH DARI SEJARAH
Prof. Dr. Erliza Hambali, Ketua Tim Pelaksana Kegiatan Workshop sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, kebaikan dari sawit yang saat ini dirasakan masyarakat sehari-hari ada di oleopangan. Seperti margarin, minyak goreng, hingga creamer.
“Kalau oleopangan itu bahan-bahan yang mengandung minyak. Kalau oleochemical adalah bahan-bahan kimia dari minyak nabati. Kalo dari minyak bumi namanya petrokimia,” urainya, disela Workshop Hilirisasi Minyak Sawit di Ball Room Swiss-Belhotel Borneo, Kota Samarinda, belum lama ini.
Bagi Prof. Dr. Erliza Hambali, kehadiran sawit di Indonesia menjadi berkah. Apalagi bila ditilik dari sejarahnya. Ia menceritakan, sawit berasal dari Afrika. Namun di sana, sawit yang ditanam justru tidak berbuah. Medio 1948, bibit kelapa sawit pun dibawa ke Indonesia. Konon dibawa seorang warga negara Belanda.
Bibit sawit itu kemudian di tanam di Kebun Raya Bogor, sebelum akhirnya disebarluaskan di Indonesia. Hingga saat ini, pohon sawit di sana dianggap sebagai nenek moyang kelapa sawit di Indonesia. “Sawit ini anugerah yang luar biasa bagi Indonesia,” ujarnya.
Meski tumbuh subur di Indonesia, Prof. Dr. Erliza Hambali menyatakan, di dunia sawit memiliki banyak saingan. Sebut saja seperti sunflower, soybean, kanola, hingga minyak jagung. Maka tak heran, kampanye negatif mengenai sawit terus dikampanyekan di luar negeri. “Nah, makanya sekarang tinggal kita mencari tahu nilai tambah dan kebaikan-kebaikan dari sawit ini,” ungkapnya.
Prof. Dr. Erliza Hambali menegaskan, upaya hilirisasi sawit dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah. Tak hanya bagi negara, tetapi juga masyarakat. Makanya, upaya hilirisasi perlu disosialisasikan kepada mereka yang belum memahami mengenai sawit.
“Kita memang harus mengurangi ekspor CPO (Crude Palm Oil, Red.), persentasenya saat ini sekitar 26 persen. Tapi kalau ditingkatkan nilai tambahnya, Indonesia bisa makmur,” tutupnya. (fai)